Welcome

"Wene Weak Hano Nekimoat Welagirek"

Minggu, 13 Maret 2011

KEKERASAN APARAT NEGARA TERHADAP PEREMPUAN PAPUA

Para korban kekerasan aparat kepolisian pada aksi 10 Mei 2005 di Pengadilan Negeri Jayapura sedang melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Kontras Papua untuk menyambut kunjungan Kapolri, Jend. Pol Da’i Bahtiar yang berkaitan dengan kekerasan 10 Mei 2005. Marice Kotouki (baju merah) korban penikaman sangkur sedalam 10 cm oleh seorang polisi. @Kontras Papua  


“Hidup rakyat Papua!!!”.
“Hidup Mahasiswa dan Pemuda Papua!!!”
“Hidup Perempuan Papua!!!”
“Bebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage!!!”.
Teriakan  massa memecah lamunan para pegawai kantor Pengadilan Negri Jayapura yang sedang nongkrong di depan kantor seperti orang yang tidak ada kerjaan.
Semua mata; mata intel, mata polisi, mata pegawai pengadilan dan mata masyarakat sipil yang ada di sekitar kantor Pengadilan itu bahkan matahari sekalipun, semua tertuju pada massa yang sedang memasuki gerbang kantor Pengadilan.
Tanggal 10 Mei 2005. Hari itu kira – kira pukul 11.00 waktu Numbay (nama lain dari Jayapura). Massa aksi sebanyak 200-an orang yang tergabung dalam Parlemen Jalanan Rakyat Papua Barat, melangkah dalam barisan dari depan Universitas Cenderawasi (Uncen) menuju kantor Pengadilan Negeri (PN) Jayapura. Aksi ini adalah aksi ke tiga untuk menuntut pembebasan Filep Karma dan Yusak Pakage. Karma dan Pakage disidang berdasarkan pasal – pasal makar yaitu pasal 106 dan 110 KUHP. Aksi damai pada tanggal 1 Desember 2004 di Lapangan Trikora Abepura, yang diisi dengan orasi-orasi, yel-yel, doa bersama dan nyanyian itu ternyata merupakan kegiatan makar di mata Pemerintah Indonesia.
Yel – yel, nyanyian dan orasi terus berkumandang, menyatu dengan panas terik kota Jayapura, membakar semangat massa, membangkitkan jiwa berontak untuk lawan penguasa anti rakyat dan sistem hukumnya yang sangat menindas.
Hakim Lakoni, SH  yang hari itu menjadi hakim ketua dalam sidang itu menjatuhkan hukuman. Palu coklat memukul meja hijau, tanda putusan sudah dilakukan. Karma divonis 15 tahun penjara dan Pakage divonis 10 tahun penjara, tanpa didampingi satu orang pun Pengacara mereka.
Massa marah karena merasa sangat tidak adil dengan hukuman seberat itu. Massa membutuhkan penjelasan. Massa ingin dengar satu dua kata dari Karma. Smua tidak digubris. Bukan karna Karma atau Pakage tidak mau menjawab, tapi mereka tidak diberi kesempatan untuk menjelaska kepada massa yang haus penjelasan.
Karma dan Pakage dengan paksa dinaikan ke dalam mobil penjara untuk kembali ke LP. Abepura. Di luar komando Koordinator lapangan (Korlap), massa yang marah memblokir pintu gerbang keluar sebagai protes karena aspirasinya diabaikan. Dengan cepat, tangan-tangan yang menahan dan menutup pintu gerbang keluar sebelah kanan itu disambut dengan pukulan-pukulan keras oven stock, menyusul tendangan-tendangan keras dan cacian serta makian para polisi. Bentrok pun tak terhindarkan. Mobil yang membawa Karma dan Pakage berhasil dilarikan keluar oleh seorang supir dari Lapas yang dikawal dengan beberapa polisi. Terlihat tembakan gas air mata yang berasal dari empat orang brimob yang bersembunyi di belakang dua tank. Lemparan hujan batu dari luar pagar, dari deretan toko, masuk bertubi – tubi kearah massa, disusul tembakan – tembakan. Jelas terlihat, lemparan batu dan tembakan itu berasal dari sejumlah aparat bersenjata yang berpakainan preman. Massa terdesak dan terjebak di halaman PN, persis di bawah pagar-pagar besi. Klo mau hidup, tidak ada pilihan lain, kecuali lompat keluar melalui pagar-pagar berujung tajam dengan tinggi sekitar 2 meter itu.
Batu dan peluru terus menghujani massa dari dua arah, dari balik mobil-mobil di halaman PN dan dari depan emperan toko. Kepala-kepala berambut keriting itu mulai mengeluarkan cairan-cairan merah. Ada yang alisnya sudah terkupas termakan pukulan keras para polisi. Ada yang hidungnya mengeluarkan cairan kental merah. Seorang laki-laki menjerit kesakitan di pojok pagar karena pundaknya termakan peluru yang masih bersarang dalam pundak kanan. Ada yang terjebak di atas pagar besi tajam dan berteriak minta tolong. Ada yang diseret dengan kasar oleh polisi dengan dada yang telah digilas termakan kerikil.
“Tolooooooooong!”
“Adu sa pu kepala”
“Tolooooooooong!”
Marice Kotouki, seorang perempuan sebagai koordinator keamanan aksi demo hari itu, dengan kepala berlumuran darah berteriak histeris di luar pagar sambil memegang kepala bagian tengah yang sudah tertancap sebuah pisau sangkur sedalam sekitar 10 cm. Pisau sangkur milik seorang Brimob dari Kotaraja. Kotouki segera dibawah ke RS. Dian Harapan Waena oleh dua orang kawan dengan sepeda motor.
Saya terjebak di sudut pagar bagian dalam dengan megaphone putih di tangan, sementara sebagian massa sedang beradu otot dengan aparat di luar sana.  
“Hentikan!”
“Hentikan smua!”
“Mundur!”
“Mundur ke Uncen!”
Sebagai koordianator lapangan, Saya terus berteriak melalui megaphone. Suara Saya tenggelam dalam ribut riuh perang kecil itu.
Seorang laki-laki dengan kepala bagian kiri yang sudah bocor terkena peluru dan kaki yang agak pincang tepat di depan saya. Marten Mote, nama laki-laki itu. Alis matanya pecah. Dengan baju yang sudah robek, Mote terus diseret oleh dua orang polisi, badan bagian belakangnya digilas oleh kerikil-kerikil kecil yang berserakan di halaman kantor pengadilan. Kerikil-kerikil itu merobek kulit Mote dan tertancap dalam daging. Darah mengalir membasahi tubuh, lalu baju, dan akhirnya tanah. Panas terik kota Jayapura memanggang tubuh Mote yang berlumuran darah. Truk Brimob penuh dengan massa yang berhasil ditangkap. Wajah mereka sangat sulit dikenali akibat pukulan dan darah-darah segar yang terus melumuri wajah dan sekujur tubuh mereka.
“Doorrr”.
“Tung”.
Sebuah peluru pistol dari balik mobil Kijang hijau ditujukan kepada Saya yang masih terjebak di sudut pagar. Saya terjatuh karena didorong seorang kawan laki-laki yang melihat Saya mau ditembak. Peluru terpantul di pagar besi. Penembaknya adalah seorang intel dari Polresta Jayapura. Dia orang Serui.
Sa tahu dia”.
 Megaphone terbanting di tanah. Enam orang polisi menyeret saya ke dalam ruang sidang sambil memukul kepala, tulang rusuk dan menendang dari belakang. Darah dingin segar mengalir dari pelipis kanan yang sudah terbuka termakan pukulan. Ternyata dihajar oleh seorang polisi wanita (polwan). Tra pake lama. Tendangan kaki yang kuat penuh amarah segera saya arahkan  ke wajah polwan yang putih dan ayu itu. Dari celah-celah kaki para polisi yang sedang menyeret saya, polwan itu terlihat jatuh sambil memegang hidung, di belakang sana.
”Adoooooo.... Tuhan Yesus, tolooooooooooooooong...... “
“Mama yooooooooooo.....”
Lagi, seorang Perempuan, Milka Siep yang bertanggungjawab atas aksi demonstrasi hari itu, berteriak histeris di depan ruang sidang, persis di antara para polisi yang mengepung dia. Suara itu sangat khas, suara milik Siep yang sangat akrab di sa pu telinga sehingga tidak sulit bagi sa untuk menentukan sapa pemilik suara itu. Di samping saya, terlihat jelas, sang Hakim ketua Lakoni, SH menaiki sebuah bangku persis depan ruang sidang, lompat dan menindis tubuh kurus kecil perempuan itu. Dia tidak bisa bangun, hanya terbaring  meraung kesakitan.Terus mengatur nafas supaya tidak cepat mati. Saya berusaha menerobos barisan itu untuk menjawab raungan kesakitan Siep. Lagi -lagi Saya diseret dan dihajar babak belur dalam ruang sidang yang terhormat itu. Tergeletak berlumuran darah dan tak berdaya.
Melihat Siep dan Saya diseret masuk ke ruang sidang, Debora Penggu, seorang perempuan lain lagi, yang sudah selamat di luar sana, mulai berteriak histeris. Penggu bertugas sebagai dinamisator lapangan untuk aksi demo hari itu. Penggu mulai lari masuk ke halaman kantor pengadilan dan segera ditangkap oleh  empat orang polisi. Seorang polisi memukul wajah Penggu. Penggu hanya bisa tertunduk menahan sakit. Badannya yang tinggi besar membuat Penggu berhasil melepaskan diri dan memukul seorang polwan lain yang persis didekat dia. Cuma sebentar. Penggu diseret lagi, bertemu Saya dan kawan-kawan lain yang tergeletak di ruang sidang.
“Eh bangsat”
 “Otak mati”
 “Su aman di luar sana, kenapa masuk untuk jual diri lagi.”
“Ko cari apa sini???”.
Sa marah skali ketika melihat aksi Penggu yang memutuskan untuk ditangkap dan ditahan bersama kawan-kawannya.
“Sa mo sama-sama ko dengan mama milka”, jawab Penggu singkat.
Jawaban yang membuat kami saling berpelukan, berbagi energi untuk saling menguatkan.
Beberapa polisi menjaga kami. Sambil menunggu kawan-kawan lain ditangkap, disiksa dan diseret masuk ke ruang sidang,  Saya dan kawan-kawan disemprot kata-kata pedis oleh seorang perempuan asli Papua asal sentani yang juga mencari makan di tempat itu sebagai pegawai pengadilan.
“Kam perempuan-perempuan itu kam cari apa???”
“Duduk tenang di rumah saja knapa kah???”
“Bikin diri hebat, cari masalah saja”.
Hati tergetar marah ketika setiap kata-kata perempuan itu memasuki telinga kami.
“Perempuan, anjing nih!!!”, gumam Penggu jengkel sambil mengeringkan darah di sa pu muka.
Saya hanya menatap mata perempuan itu. Tentu saja dengan hati yang panas. Sementara, Kogoya yang sudah terlebih dulu diseret ke ruang sidang hanya menangis kesakitan karena pukulan-pukulan keras polisi, sambil memeluk tangan kanan Saya.
Ruang sidang makin penuh dengan tawanan perang kecil siang itu. Ruang sidang yang terhormat, yang sering disebut dengan tempat mendapat keadilan itu, berlumuran darah segar para tawanan polisi yang menuntut keadilan di Negri mereka sendiri.
“Aaaaoooowwwww...”.
“Eh, polisi anjing, setan, bangsat!!!”.
“Tolong saya, tolong saya...”.
Teriak Raga Kogoya, seorang perempuan yang persis berjalan depan Saya ketika memasuki truk Brimob. Kogoya disuntik dengan sebuah spoit berukuran lebih besar dari biasanya, berisi cairan berwarna putih sedikit crem.
Selang beberapa menit, sekitar 30 orang berlumuran darah menjadi ikan asin di halaman kantor Polresta Jayapura. Kami dijemur di bawah terik matahari jam satu siang. Darah-darah segar mengering di seluruh tubuh. Lengket menahan perih.
Terus dijemur selama 2 jam.
Lalu diinterogasi satu persatu.

Tanah Betawi, Juli 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar