Welcome

"Wene Weak Hano Nekimoat Welagirek"

Rabu, 16 Maret 2011


 INGKAR JANJI, NYAWA MELAYANG

"Baik Pemuda/Mahasiswa maupun Polisi, kita sama-sama menjalankan tugas kita masing-masing. Setelah itu kita sama-sama menjadi korban kepentingan PT. Freeport"

Melawan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan hidup yang dilakukan oleh Freeport McMoran, berarti berhadapan dengan peluru dan gas air mata milik TNI dan POLRI. Jika Rakyat menuntut Tutup Freeport berarti Rakyat dengan senjata kesadaran politik, spanduk, poster, selebaran dan pengeras suara, berperang melawan TNI dan POLRI yang selalu membungkam teriakan-teriakan kritis warganya dengan menggunakan senjata berpeluru, gas air mata, penjara, dan status DPO tanpa batas.
Kamis, 16 Maret 2006 - Rabu, 16 Maret 2011. Sekarang su lima tahun. Ini waktu yang cukup lama untuk menjadi orang asing di negri orang, dengan segala kerumitan yang kadang sulit bagi saya untuk menerimanya. Dengan nama yang su masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kepolisian Daerah Papua (Polda Papua) di urutan ke dua, jelas tidak ada alasan untuk hidup dengan nyaman di Port Numbay (Jayapura).
Bagaimana tidak di DPO? Di siang terik Abepura tanggal 16 Maret 2006 sekitar pukul 12.00, depan kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Bawah, terjadi sebuah bentrok antara massa aksi dan aparat keamanan yang sebenarnya sangat tidak perlu terjadi.
Bentrok ini tidak akan terjadi jika yang saat itu menjabat sebagai Kapolsek Abepura, AKP Robert Suweni, SH. dan Perwakilan dari Polda Papua (sa lupa nama mewakili saat itu)  memenuhi janji mereka yang telah mereka buat dalam sebuah kesepakatan dengan Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi.
Korlap berjanji akan membuka jalan yang telah diblokir sejak hari Selasa, 15-Rabu, 16 maret 2006 jika Wakapolda membebaskan Selfius Bobby yang ditangkap saat melakukan aksi demo damai ketika itu.
Sekitar 10 menit, Perwakilan dari Polda berkomunikasih dengan Kapolda Papua, Irjen. Pol.Tommy Yacobus, yang saat itu juga sedang menangani kawan-kawan kami yang sedang melakukan aksi damai di Timika dengan tuntutan yang sama. Setelah itu, Perwakilan dari Polda menyetujui syarat yang diajukan Korlap dan berjanji untuk membebaskan Bobby. Disaksikan oleh Kapolsek dan Wakapolsek Abepura serta Wakil Korlap, Perwakilan dari Polda meminta Korlap untuk memberitahukan massa aksi untuk bersabar menunggu sampai polisi membebaskan Bobby lalu membawa kembali ke barisan massa aksi.
Setelah itu, Perwakilan dari Polda bersama  beberapa polisi, langsung meninggalkan tempat aksi. Korlap pun memenuhi permintaan Perwakilan dari Polda. Korlap menyampaikan hasil kesepakatan kepada massa aksi. Korlap menginstruksikan massa aksi untuk duduk dan menunggu dengan tenang.
Menunggu... Menunggu... Dan menunggu.
Tanpa mengeluh terpanggang panas terik siang itu, massa aksi menunggu janji Perwakilan dari Polda yang cukup manis itu. Yel-yel dan lagu-lagu perlawanan terus dikumandangkan di bawah panas terik Abepura. Roh yel-yel dan lagu-lagu itu pelan-pelan merasuki tubuh dan pikiran massa. Perlahan mengalir bersama darah yang terus dipompa oleh jantung. Membakar semangat. Menggelora. Membangkitkan jiwa berontak. Dengan tangan kiri terkepal kuat yang diangkat setinggi mungkin, teriakan massa menuntut pembebasan Bobby makin terdengar keras. Beradu keras dengan panas terik siang itu.
Janji manis tak kunjung terjawab. Jiwa-jiwa yang menunggu pembebasan seorang Kawan, mendapatkan jawaban lain. Niat baik untuk berdamai, dipaksa untuk berhadapan dengan peluru dan gas air mata tiga pleton aparat polisi.
Suasana sebelum bentrok
Perpaduan antara merasa dikhiananti karena pengingkaran janji dengan hadirnya tiga pleton aparat keamanan yang datang membubarkan massa yang sedang duduk menunggu pembebasan seorang kawan mereka tanpa konfirmasih dengan Korlap/Wakorlap, maka meledaklah sebuah bentrok berdarah antara massa dan aparat keamanan. Rasa dikhianati telah membuat jiwa-jiwa berontak itu makin bergejolak dan terus meneriakan nyanyian perang sambil melakukan tari-tarian pengantar perang. Tanda sebuah perang telah diumumkan kepada banyak orang. Yang mengerti tanda itu, mereka segera ikut berteriak dan melakukan tari-tarian yang sama. Tanda setuju dan siap ikut berperang.
Banyak sekali hati yang telah terluka untuk kesekian kalinya. Banyak jiwa yang selalu merindukan sebuah keadilan dan kebebasan sejati di atas Tanah Leluhurnya, telah dikhianati untuk kesekian kalinya. Akal sehat, kesabaran dan niat baik untuk terus menyampaikan pendapat depan umum dengan cara damai dan bermartabat, telah dinodai untuk kesekian kalinya oleh tindakan-tindakan represif aparat kepolisian. Perjuangan-perjuangan suci dan mulia, terus mendapatkan stigma pengacau keamanan, supersif dan makar. Jika sudah demikian, siapakah yang tidak terbakar amarah???
Korban Penangkapan Sewenang-wenang pasca bentrok
Bentrok berdarah terjadi lagi akibat pengingkaran sebuah janji yang telah disepakati. Bentrok yang mengakibatkan banyak korban nyawa dan harta kekayaan berjatuhan. Bentrok yang mengakibatkan terjadinya razia-razia brutal penuh intimidasi dan meluas di beberapa asrama mahasiswa milik beberapa kabupaten serta rumah-rumah warga sipil. Bentrok yang melegitimasih aparat keamanan melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap puluhan mahasiswa dan pemuda tak bersalah. Bentrok yang membuat aktifitas kuliah di beberapa kampus, terutama di Uncen sempat terhenti. Bentrok yang membuat banyak mahasiswa/mahasiswi exodus ke pulau Jawa dan Papua New Guinea. Bentrok yang menelan empat nyawa aparat keamanan.
Dengan gugurnya empat orang aparat keamanan yang  sedang menjalankan tugas saat itu, maka untuk kesekian kalinya gugurlah juga penegakan keadilan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Papua di Tanah Papua akibat pengingkaran janji yang dilakukan oleh Pengayom, Pelindung dan Pengaman masyarakat. Dan dalam hal ini adalah oleh Pihak atau Perwakilan dari Polda sebagai pembuat janji yang tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari institusi Kepolisian Republik Indonesia.
Seorang Briptu. Pol. Daud Sulaiman (Dalmas) tewas akibat kepalanya remuk terkena lemparan batu di jalan raya Abepura-Sentani persis depan Uncen Bawah. Satu orang temannya, Briptu. Pol. Syamsudin (Brimob) juga kepalanya remuk karena terkena lemparan batu di tempat kejadian yang sama. Juga tewas akibat mengalami tusukan pada rusuk kiri, seorang Briptu. Pol. Arisona Horota (Brimob). Sedangkan seorang intel TNI-AU Lanud Sentani yang bernama Serda. Agung Priadi yang saat itu berpakaian biasa, juga tewas akibat dipukul. Priadi ditemukan tewas dalam sebuah parit kecil di belakang salah satu bangunan sebuah fakultas kampus Uncen.
Sementara itu, ada sembilan orang aparat keamanan lain yang mengalami luka-luka. AKP. Kupan Purba (Brimob), Briptu. M. Hadi (Dalmas), Briptu. Syahris (Brimob), Briptu. Rubiono (Brimob), Juhat Eko (Brimob), Briptu. Leo (Brimob), Bripda. Randr R. (Dalmas), Bripda. Ali Rusdin (Dalmas), Bripda. Habel P. (Dalmas).
Selain aparat keamanan yang menjadi korban, juga sebanyak 20 orang masyarakat sipil dan 1 orang wartawan menjadi korban akibat mengalami luka-luka.
Dari 20 orang itu, sebanyak 11 orang mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Provinsi Papua Dok II Kota Jayapura. Mereka adalah:
1.      1. Amandus (27 tahun), luka robek di pelipis kanan dan dahi serta memar di perut;
2.      2. Erik (20 tahun), luka pada bibir dan mata kanan;
3.      3. Abraham Bremey (24 tahun), luka di bagian kepala belakang dan pipi kiri;
4.      4. Markus Ningdana (42 tahun), luka di mulut dan dahi;
5.      5. Alex C. Wajangkor (20 tahun), luka di bagian kepala;
6.      6. Michael L. (19 tahun), luka memar di pipi kiri;
7.      7. Imanuel Rosumbre (21 tahun), luka memar di pipi kiri;
8.      8. Philipus S. Karma (40 tahun), luka di kaki kiri;
9.      9. Widi Kogoya (21 tahun), luka memar di kedua pipi dan tangan;
10.  10.Melky Komboy (33 tahun), luka di kepala;
11.  11Alex Wayangku (21 tahun), luka di Kepala.
Sedangkan sebanyak 9 orang lainnya, mendapat perawatan di Rumah Sakit Katolik Dian Harapan-Yabansai, Waena-Abepura:
1.      1. Etinus Kulla (21 tahun), luka robek di pelipis kiri;
2.      2. Erik (27 tahun), luka pada bibir dan mata kanan;
3.      3. Isak Ulmami (22 tahun), luka akibat tembakan di paha kiri;
4.      4. John Giay (23 tahun), luka di punggung;
5.      5. Hermanus Maiseny (pelajar SMU), luka di pelipis kiri dan rahang bawah patah;
6.      6. Glen Mahulete (5 tahun), luka tembak di lutut kanan hingga bocor;
7.      7. Killion Samor (21 tahun), luka di paha kanan;
8.      8. Djie Makanuay (30 tahun), luka di paha kanan;
9.      9. Yuventus Tekege (21 tahun), luka di bahu kiri
Satu orang wartawan yang terluka akibat mendapat pukulan dari polisi adalah Cunding Levi. Levi mengalami luka memar di mata kiri dan luka di hidung sehingga saat itu hidung terus mengeluarkan darah. Seorang polisi memukul Levi ketika sedang melakukan liputan bentrok. Karena merasa terancam, Levi lari dan menyelamatkan diri dalam kelompok massa aksi. Sebagian besar massa telah mengenal Levi sebagai seorang wartawan baik. Sehingga ketika Levi lari kedalam kelompok massa yang masih ganas, Levi mendapat pengamanan oleh massa.
Tak lupa juga, melalui tulisan pendek ini, secara khusus dengan sangat bangga, rasa hormat dan penuh kerinduan, saya menyebut nama Eko Berotabui. Seorang Kamrad yang terus bertahan di garis depan aksi-aksi demonstrasi Mahasiswa/Pemuda sampai titik darah penghabisan. Dalam aksi 16 Maret 2006, Berotabui adalah pengorganisir massa untuk sektor Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ). Saat itu, ia sebagai anggota Senat Kampus USTJ.
Berotabui meninggal dengan cara bunuh diri akibat depresi karena sebelumnya Berotabui bersama 21 Kawan lain di penjara Abepura mengalami berbagai bentuk penyiksaan, teror dan ancaman pembunuhan dari para petugas LP. Abepura.
Anak lelaki semata wayang dari Pdt. Corinus Berotabui, M.Th (almarhum) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Sinode GKI Papua ini, meninggal sebelum menyelesaikan kuliahnya di Teknik Lingkungan - USTJ Padang Bulan, Jayapura.
Salut, Kamrad Eko!!!
Korban-korban inilah yang sempat tercatat dalam sa pu buku harian berkat komunikasih yang tetap terjaga sambil “tiarap” bersama Kawan-kawan di Port Numbay. 
Apakah orang-orang yang menjadi korban ini yang harus membayar harga-harga mahal untuk sebuah kebenaran dan keadilan, walaupun oknum-oknum aparat kepolisian terus menginkarinya demi mengamankan dan mengutamakan kepentingan pribadi mereka??? Apakah oknum-oknum aparat kepolisian ini akan terus mengkambing hitamkan masyarakat dan bawahan mereka yang sedang bertugas di lapangan, selama itu untuk mengamankan dan mengutamakan kepentingan pribadi mereka dibanding menegakan keadilan dan menjaga nama baik institusi kepolisian Republik Indonesia???
Tanyakan saja kepada “seseorang” atau “sesuatu” yang duduk diam di balik langit biru Abepura. Dan terus membisu ketika menyaksikan semua keringat, air mata, darah dan nyawa terpanggang di atas jalan raya beraspal hitam, panas dan terus meluap!!! 


Juga keadilan dan kebenaran, bagi yang masih percaya bahwa akan ada setetes keadilan dan kebenaran yang lahir dari kesadaran, alat dan tahapan perjuangan kaum tertindas yang lebih maju. Bukan yang jatuh dari langit tanpa kerja keras manusia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar